Search This Blog

Jangan sampai PLN jadi Perusahaan Lilin Negara

Jakarta, gatra.com - Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Pemerintah berencana mencabut kebijakan wajib memasok kebutuhan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) batubara termasuk kepada PLN. Sementara alasan pembatalan DMO tersebut untuk mendongkrak nilai ekspor batu bara. Endingnya agar menambah devisa untuk mengamankan defisit transaksi berjalan Indonesia. "Ini alasan yang mengada-ada," ujar Dr. Fahmy Radhi, MBA, Pengamat Ekonomi Energi UGM Sabtu (28/7).

Padahal dalam peraturan disebutkan seperti dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA), jika HBA di bawah US$70 per metric ton.

Menurut Fahmy, ketentuan DMO Produksi batu bara hanya 25% dari total penjualan. Sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar. Dengan DMO Produksi 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan. Diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit nercara pembayaran.

Berdasarkan hitung-hitungan Fahmy, data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metric ton. Sementara harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar US$ 104,65 per metric ton. Kalau penjualan 25% kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar US$ 11,12 miliar (106 juta metric ton X US$ 104,65).

Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$ 70 per metric ton, pendapatan penguasaha turun menjadi US$ 7,44 miliar (106 juta X US$ 70). Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar (US$ 11,12-US$ 7,44). Menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar. "Maka selisih harga itu tidak signifikan," ujarnya.

Sementara pernyataan Wakil Menteri ESDM Achandra Tahar mengatakan bukan DMO Produksi 25% yang dicabut melainkan cap DMO harga US$70 yang akan dibatalkan. Artinya, pengusaha batu bara tidak mengekspor seluruh total produksi batu bara sebesar 425 juta metric ton. Pengusaha tetap menjual ke PLN sebesar 25% produksi atau sekitar 106,25 juta metric ton.

Pengusaha menjual ke PLN dengan harga pasar US$ 104,65, bukan harga DMO US$ 70 per metric ton. Kalau benar yang dikatakan oleh Achandra, menurut Fahmy, tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor. "Yang ada penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN yang berasal dari kenaikan harga jual dari US$ 70 naik menjadi 104,65, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN," ujar mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas.

Jika ingin menambah devisa dengan signifikan, kata fahmy, seluruh produksi batu bara sebesar 425 metric ton diekepor. Namun konsekwensinya, PLN harus impor seluruh kebutuhan batu bara. Ini malah akan memperlemah neraca pembayaran.

Di sisi lain, pemerintah akan memberikan tambahan subsidi kepada PLN untuk menutup tambahan beban biaya PLN. subsidi ini berasal dari iuran penguasaha batu bara antara US$ 2-3% per metric ton. Rencananya dana subsidi ini akan dikelola oleh suatu badan yang baru akan dibentuk kemudian.

Sayangnya berdasarkan perhtungan fahmy, tambahan subsidi dari iuran itu tidak akan mencukupi untuk menutup beban biaya PLN akibat pembatalan DMO harga. Tambahan beban biaya PLN diperkirakan sebesar US$ 3,68 miliar ([(106,25 juta X 104,65)-[(106,25X70)]). Sedangkan iuran dari pengusaha US$ 3 per metric ton akan terkumpul US$ 1,28 miliar (425 juta metric ton X US$ 3).

Jumlah iuran itu tidak akan mencukupinya karena masih ada selisih yang menjadi beban PLN sebesar US$ 2,40 (US$ 3,68 miliar – US$ 1,28 miliar). Selain itu, penggunaan iuran untuk subsidi akan terjadi time lag antara pemberlakukan pembatalan DMO harga dengan proses pengumpulan iuran dana. Apalagi masih menunggu dibentuknya lembaga pengumpul di Depatemen Keungan akan semakin memperpanjang time lag, sehingga memperpanjang beban biaya yang harus ditanggung oleh PLN

Menurut Fahmy, beban PLN akan semakin berat akibat pembatalan DMO harga batu bara. hal ini karean saat ini sedang berada dalam masa kenaikan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik (BBM, Solar, Gas, Batu Bara). Ditambah lagi harga jual listrik dari IPP, beban PLN dalam menjalankan Public Service Obligation (PSO) untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga 2019. Sekaligus penugasan Pemerintah dalam pencapaian 100% elektrifikasi serta Proyek 35.000 MW. "PLN sudah menderita kerugian pada semester I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun, bandingkan periode yang sama pada 2017, PLN masih mencatat laba bersih sebesar Rp 510,17 miliar," tambah Fahmy.

Menurut pengamatan Fahmy, pembatalan DMO harga itu akan semakin memperbesar kerugian PLN. Kalau kerugian PLN itu dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut. "Nanti, PLN bukan lagi sebagai “Perusahaan Listrik Negara”, tetapi berubah menjadi “Perusahaan Lilin Negara”, maka dari itu kebijakan pembatalan DMO harga batu bara harus dibatalkan," pungkasnya. 


Reporter : Umaya Khusniah

Editor : Bernadetta Febriana 

Let's block ads! (Why?)

Baca Dong Di sini https://www.gatra.com/rubrik/ekonomi/334914-Jangan-sampai-PLN-jadi-Perusahaan-Lilin-Negara

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jangan sampai PLN jadi Perusahaan Lilin Negara"

Post a Comment

Powered by Blogger.