Search This Blog

Minyak Dunia Naik, Perlukan Harga BBM RI Disesuaikan?

VIVA – Sejak 2017 hingga memasuki awal 2018, harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan yang signifikan, yang puncaknya mencapai US$70,37 per barel. Itu adalah harga tertinggi sejak Desember 2014.

Meski sempat turun, harga minyak dunia bertengger tinggi di US$63,61 per barel pada 16 Januari 2018. Tingginya harga minyak itu berpotensi menambah beban Pertamina dalam mendistribusikan BBM Penugasan. Terlebih, pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga BBM hingga Maret 2018.

Pengamat Ekonomi Energi UGM dan mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi mengatakan, sebenarnya sejak harga BBM ditetapkan oleh pemerintah, ada dua posisi yang bisa beri keuntungan atau kerugian Pertamina.

Yaitu, di mana pada saat harga minyak dunia sedang rendah dan pemerintah menetapakan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina dapat meraup kentungan besar.

"Sebaliknya, pada saat harga minyak dunia sedang melonjak dan pemerintah menetapkan harga BBM di bawah harga keekonomian, Pertamina memang menanggung potensi kerugian," jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis 25 Januari 2018.

Adapun kerugian yang diderita Pertamina mengacu pada Indonesian Crude Price (ICP) yang ada di kisaran US$59 per barel, potesi opportunity loss bisa mencapai sekitar Rp19 triliun. Sehingga, bila ICP naik lebih tinggi, tentu opportunity loss semakin besar.

Sementara itu, terkait dengan keputusan tidak naiknya harga BBM hingga Maret 2018, Radhi mengakui, banyak hal yang bisa diambil untuk ekonomi selain kerugian Pertamina. Salah satunya adalah inflasi, konsumsi, dan daya beli yang sedang lemah.

Untuk itu, sebenarnya tidak benar bila ada yang mengatakan pemerintah membiarkan Pertamina merugi. Sebab, dalam formula penetapan harga jual BBM, Pemerintah sebenarnya memasukkan komponen biaya penugasan sekitar Rp550 per liter dan memberikan margin kepada Pertamina sekitar Rp250 per liter.
 
Selain itu, pada saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar sebagai wind fall. Pada saat harga ICP merosot di kisaran US$38 per barel pada 2016, pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp40 triliun.

"Jadi, kalau potensi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp19 triliun dikompensasikan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp21 triliun. Dan, keuntungan itu masih memadai menutup potensi kerugian, akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018," jelasnya.
 
Di luar wind fall yang dinikmati Pertamina, pemerintah juga memberikan beberapa kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya adalah pemberian hak pengelolaan Blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018.

Dengan pemberian non-cash asset Blok Mahakam, lanjut dia, aset Pertamina betambah US$9,43 miliar, atau sekitar Rp122,59 triliun. Sehingga, total aset Pertamina kini naik menjadi US$54,95 miliar, atau Rp714,35 triliun.

Lalu, bila diperhitungkan cash inflow dari windfall 2016 Rp40 triliun, dari share down saham Blok Mahakam pada awal 2018 sebesar Rp47,84 triliun, dan potensi pendapatan bersih pengelolaan Blok Mahakam pada akhir 2018 sebesar Rp4,12 triliun, maka total cash inflow pada 2016-2018 Rp91,96 triliun.

"Jumlah itu masih sangat mencukupi untuk menutup potensi kerugian akibat tidak dinaikan harga BBM pada 2017-2018. Bahkan sepanjang 2019, tidak perlu ada kenaikan harga BBM, lantaran total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi opportunity lost Pertamina hingga akhir 2019," ujarnya.

Let's block ads! (Why?)

Baca Dong Di sini https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1000601-minyak-dunia-naik-perlukan-harga-bbm-ri-disesuaikan

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Minyak Dunia Naik, Perlukan Harga BBM RI Disesuaikan?"

Post a Comment

Powered by Blogger.